SLIDE-1-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com...

SLIDE-2-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com...

SLIDE-3-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com...

SLIDE-4-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com...

SLIDE-5-TITLE-HERE

Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com...

Minggu, 09 Agustus 2009

(BAB I) Teori-Teori Etika Bisnis

Pengertian Etika

Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.

Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).

Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :

1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Dari perbadingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita surat kabar “Dalam dunia bisnis etika merosot terus” maka kata ‘etika’ di sini bila dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena maksud dari kata ‘etika’ dalam kalimat tersebut bukan etika sebagai ilmu melainkan ‘nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’ dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.

K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :

1. nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.

2. kumpulan asas atau nilai moral.

Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik

3. ilmu tentang yang baik atau buruk.

Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.

2. Tiga Norma Umum

Norma --> memberi pedoman tentang bagaimana kita harus hidup dan bertindak secara baik dan tepat, sekaligus menjadi dasar bagi penilaian mengenai baik buruknya perilaku dan tindakan kita.

Macam Norma :

a.Norma Khusus

b.Norma Umum
- Norma Sopan santun
- Norma Hukum
- Norma Moral


-Norma Sopan Santun/Etiket

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari kata “etiket”, yaitu :

1. Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang (dagang) yang bertuliskan nama, isi, dan sebagainya tentang barang itu.

2. Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu diperhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik.

Perbedaan Etiket dengan Etika

K. Bertens dalam bukunya yang berjudul “Etika” (2000) memberikan 4 (empat) macam perbedaan etiket dengan etika, yaitu :

1. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Misal : Ketika saya menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Jika saya menyerahkannya dengan tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket.

Etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari perbuatan itu sendiri. Misal : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa izin karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama artinya dengan mencuri. “Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. Di sini tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri.

2. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misal : Saya sedang makan bersama bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas meja makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang makan sendirian (tidak ada orang lain), maka saya tidak melanggar etiket jika saya makan dengan cara demikian.

Etika selalu berlaku, baik kita sedang sendiri atau bersama orang lain. Misal: Larangan mencuri selalu berlaku, baik sedang sendiri atau ada orang lain. Atau barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan meskipun si empunya barang sudah lupa.

3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Misal : makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan.

Etika bersifat absolut. “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar.

4.. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang berpegang pada etiket bisa juga bersifat munafik. Misal : Bisa saja orang tampi sebagai “manusia berbulu ayam”, dari luar sangan sopan dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan.

Etika memandang manusia dari segi dalam. Orang yang etis tidak mungkin bersifat munafik, sebab orang yang bersikap etis pasti orang yang sungguh-sungguh baik.

- Norma Hukum

Norma Hukum adalah norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Norma hukum ini mencerminkan harapan, keinginan dan keyakinan seluruh anggota masyarakat tersebut tentang bagaimana hidup bermasyarakat yang baik dan bagaimana masyarakat tersebut harus diatur secara baik

- Norma Moral

Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.

‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.

3. Teori Etika

Utilitarisme

Teori ini menjadi terkenal sejak disistematisasikan oleh filsuf Inggris bernama John Stuart Mill dalam bukunya yang berjudul On Liberty. Sesuai dengan namanya utilitarisme berasal dari kata utility dengan bahasa latinnya utilis yang artinya “bermanfaat”. Teori ini menekankan pada perbuatan yang menghasilkan manfaat, tentu bukan sembarang manfaat tetapi manfaat yang paling banyak membawa kebahagiaan bagi banyak orang.

Dikaitkan dengan demokrasi tampaknya teori ini erat kaitannya. Dalam pemilihan suara pada Pemilihan Umum (PEMILU) suatu negara yang menganut asas demokrasi, calon presiden dengan suara terbanyak adalah presiden yang memenangkan pemilu. Meski pun perbandingannya hanya 49% dengan 51% tetap saja calon yang memperoleh suara terbanyak akan menang. Demikian pula dengan implementasi utilitarisme

Meski pun sudah dialami manfaat dari utilitarisme bukan berarti utilitarisme secara teoritis tidak memiliki masalah. Jika semua yang dikategorikan sebagai baik hanya diperoleh dari manfaat terbanyak bagi orang terbanyak, maka apakah akan ada orang yang dikorbankan? Anggap saja ada anjing gila, anjing tersebut suka menggigit orang yang lewat. 7 dari 10 orang menyarankan anjing tersebut dibunuh sedangkan 3 lainnya menyarankan dibunuh. Penganut utilitarisme akan menjawab tentu yang baik jika anjing itu dibunuh. Lalu saran 3 orang tadi dikemanakan? Apakah mereka harus menerima itu begitu saja? Kalau menurut teori ini YA.

Kasus di atas hanyalah sebatas anjing bagaimana jika manusia? Bukan tidak mungkin hal ini terjadi bahkan sudah terjadi, tentu dalam perkembangan peradaban ada sejarah diskriminasi ras mau pun etnis. Kasus diskriminasi ras kulit hitam dan diskriminasi etnis Tionghoa sebelum tahun 1997 tampaknya tidak terdengar asing lagi di telinga. Salah satu sebab mereka didiskriminasikan karena mereka minoritas, dan mayoritas berhak atas mereka. Oleh utilitarisme hal ini dibenarkan selama diskriminasi membawa manfaat.

Dibalik kengerian dari aplikasi teori utilitarisme ini, ada pula hal yang melegakan. Salah satunya adalah ketika berkenaan dengan bisnis dan keuangan. Perhitungan ala utilitaris ini dapat berlaku sebagai tinjauan atas keputusan yang akan diambil. Mengingat dalam keuangan yang ada kebanyakan adalah angka-angka, jadi keputusan dapat diambil secara mudah berdasarkan jumlah terbanyak bagi manfaat terbanyak.

Teori ini juga dikatakan sebagai konsekuensionalisme karena segala keputusan diambil atas tinjauan konsekuensi. Konsekuensi paling menguntungkan adalah konsekuensi yang akan diambil.

Deontologi

Teori deontologi sebenarnya sudah ada sejak periode filsafat Yunani Kuno, tetapi baru mulai diberi perhatian setelah diberi penjelasan dan pendasaran logis oleh filsuf Jerman yaitu Immanuel Kant.

kata deon berasal dari Yunani yang artinya kewajiban. Sudah jelas kelihatan bahwa teori deontologi menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan baik jika didasari atas pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban berarti sudah melakukan kebaikan. Deontologi tidak terpasak pada konsekuensi perbuatan, dengan kata lain deontologi melaksanakan terlebih dahulu tanpa memikirkan akibatnya. Berbeda dengan utilitarisme yang mempertimbangkan hasilnya lalu dilakukan perbuatannya.

Lalu apa itu kewajiban menurut deontologi? Sulit untuk mendefinisikannya namun pemberian contoh mempermudah dalam memahaminya. Misalnya, tidak boleh menghina, membantu orang tua, membayar hutang, dan tidak berbohong adalah perbuatan yang bisa diterima secara universal. Jika ditanya secara langsung apakah boleh menghina orang? Tidak boleh, apakah boleh membantu orang tua? Tentu itu harus. Semua orang bisa terima bahwa berbohong adalah buruk dan membantu orang tua adalah baik. Nah, kira-kira seperti itulah kewajiban yang dimaksud.

Jika dibandingkan dengan utilitarisme coba perhatikan lagi contoh anjing yang akan dieksekusi karena voting terbanyak mengatakan demikian. Dalam deontologi tidak demikian, jumlah terbanyak bukanlah ukuran yang menentukan kebaikan tetapi prinsiplah yang menentukan yaitu prinsip bahwa pembunuhan adalah perbuatan buruk dan bagaimana pun juga anjing itu tidak boleh dibunuh.

(BAB II) Bisnis dan Etika

Sebagian besar pendapat mengatakan bahwa bisnis dengan moral tidak ada hubungannya sama sekali, etika sangat bertentantangan dengan bisnis dan membuat pelaku bisnis kalah dalam persaingan bisnis, karenanya pelaku bisnis tidak diwajibkan mentaati norma, nilai moral, dan aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan bisnis perusahaan. Hal ini yang menyebabkan pendapat diatas belum tentu benar, bahkan sebagian besar pendapat lain mengatakan bahwa bisnis dengan moralitas memiliki hubungan yang sangat erat, etika harus dipraktekkan langsung dengan kegiatan bisnis dan membuat perusahaan bisa bersaing secara sehat karena memegang komitmen, prinsip yang terpercaya terhadap kode etis, norma, nilai moral, dan aturan-aturan yang dianggap baik dan berlaku dalam lingkungan bisnis perusahaan. Sebelum bisnis dijalankan, perusahaan – perusahaan wajib memenuhi persyaratan secara legal sesuai dengan dasar hukum dan aturan yang berlaku, tetapi apakah bisnis dapat diterima secara moral.

Persaingan dunia bisnis yang modern saat ini, perusahaan telekomunikasi dapat mengutamakan etika bisnis, yaitu : pelaku bisnis di tuntut menjadi orang yang profesional di bidang usahanya (dalam hal ini bidang yang profesional ialah bidang telekomunikasi) yang meliputi kinerja dalam bisnis, manajemen, kondisi keuangan perusahaan, kinerja etis dan etos bisnis yang baik. Perusahaan dapat mengetahui bahwa konsumen adalah raja, dengan ini pihak perusahaan dapat menjaga kepercayaan konsumen, meneliti lebih lanjut lagi terhadap selera dan kemauan konsumen serta menunjukkan citra (image) bisnis yang etis dan baik. Peran pemerintah yang menjamin kepentingan antara hak dan kewajiban bagi semua pihak yang ada dalam pasar terbuka, dengan ini perusahaan harus menjalankan bisnisnya dengan baik dan etis. Perusahaan modern menyadari bahwa karyawan bukanlah tenaga yang harus di eksploitasi demi mencapai keuntungan perusahaan. Selain men=mperhatikan keutamaan etika bisnis, sasaran dan lingkup etika bisnis juga harus diperhatikan, seperti : Tujuan perusahaan melakukan bisnis adalah untuk mengajak pelaku bisnis agar dapat menjalankan bisnisnya sesuai dengan etika dan bisnis yang baik. Menyadarkan masyarakat khususnya konsumen, kaaryawan, dan pelaku bisnis akan kepentingan dan hak mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapapun juga. Etika bisnis juga membicarakan system ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya bisnis dijalankan.

Perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi memiliki [rinsip-prinsip etika bisnis, yaitu : Prinsip otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan yang harus dipilih untuk dilakukan agar menjadi suatu keputusan yang baik. Orang yang berotonom adalah orang yang memiliki konsekuensi yang tinggi, bertanggung jawab atas keputusannya yang telah diambil. Prinsip kejujuran, prinsip ini membicarakan kejujuran dalam hubungan bisnis antara perusahaan telekomunikasi satu dengan perusahaan lain, kejujuran dalam menawarkan produk telekomunikasi berupa barang (HP beserta sim cardnya) maupun jasa (layanan perbaikan HP dan sim cardnya) dengan kualitas mutu dan harga yang sebanding, kejujuran dalam memenuhi syarat-syarat perjanjian dan kontrak bisnis. prinsip keadilan, menuntut agar setiap pelaku bisnis secara bersama-sama dapat menjalankan bisnisnya secara adil dengan kinerja yang rasional, objektif, sesuai aturan yang dapat dipertanggungjawabkan. Prinsip saling menguntungkan menuntut agar bisnis yang dijalankan dapat menguntungkan semua pihak baik pelaku bisnis maupun perusahaan telekomunikasi yang mengadakan etika bisnis. prinsip integritas moral, dituntut oleh pelaku bisnis dan perusahaan agar dalam menjalankan bisnisnya dapat menjaga citra (image), nama baik perusahaan dan prinsip ini harus dihayati secara internal.

Ada tiga pandangan umumyang dianut dalam etika bisnis, yaitu : Norma etis berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Norma sendirilah yang paling benar dan tepat, dan tidak ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali (De George menyebutkan sebagai dengan “immoralis naïf ”). Pandangan diatas sama sekali tidak benar, pelaku bisnis perlu memetakan hubungan – hubungan yang terjalin, memiliki pendekatan stakeholder, maksudnya ialah cara mengamati dan menganalisa bagaimana berbagai unsur akan dipengaruhi dan juga memperngaruhi keputusan bisnis. pendekatan stakeholder dalam kegiatan bisnis umumnya untuk memperlihatkan siapa saja yang mempunyai kepentingan terkait, dan terlibat dalam bisnis itu. Kelompok stakeholder ini terdiri atas kelompok primer, dan kleompok sekunder. Kelompok primer, yang terdiri dari : pemilik modal atau saham, kreditor karyawan, pemasok, penyalur, konsumen, dan pesaing. Perusahaan harus mampu menjalin relasi bisnis yang baik dan etis dengan kelompok ini. Kelompok sekunder yang terdiri dari : pemerintah setempat, pemerintah asing, kelompok sosial, media massa, kelompok pendukung, dan masyarakat.

(BAB III) ETIKA UTILITARIANISME DALAM BISNIS

1.1 Pendahuluan

Utilitarianisme merupakan bagian dari etika filsafat mulai berkembang pada abad ke 19 sebagai kritik atas dominasi hukum alam. Sebagai teori etis secara sistematis teori utilitarianisme di kembangkan Jeremy Bentham dan muridnya, John Stuart Mill. Utilitarianisme disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happines theory). Karena utilitiarianisme dalam konsepsi Bentham berprinsip the greatest happiness of the greatest number. Kebahagiaan tersebut menjadi landasan moral utama kaum utilitarianisme, tetapi kemudian konsep tersebut di rekonstruksi Mill menjadi bukan kebahagiaan pelaku saja, melainkan demi kebahagiaan semua. Dengan prinsip seperti itu, seolah-olah utilitarianisme menjadi teori etika konsekuensialisme dan welfarisme.

Sebagai bagian dari etika, Utilitarianisme merupakan salah satu teori besar etika yang muncul pada abad 19. Kemunculannya di latarbelakangi oleh keinginan besar untuk melepaskan diri dari belenggu doktrin hukum alam. David Hume dan Helvetius, dan Beccaria adalah arsitek utama doktrin Utilitarianisme tersebut. Namun, Jemery Bethamlah (1748-1832) yang berhasil merumuskannya dalam sebuah teori formal tentang refomasi sosial sehingga menjadi kiblat bagi kelas menengah. Sebab konsep yang ditawarkan sangat mendukung eksistensi dan kepentingan mereka (Schmand, 2002: 441).

Utilitarianisme terkadang disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Oleh karena itu, sesuatu yang paling utama bagi manusia menurut Betham adalah bahwa kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya mengelakan akibat-akibat buruk. Karena kebahagianlah yang baik dan penderitaanlah yang buruk (Shomali, 2005: 11).

Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Prinsip kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda. Dalam pandangan utilitarisme klasik, prinsip utilitas adalah the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang). Hal ini dapat dipahami bahwa di mana kebahagiaan disamakannya dengan kenikmatan dan dengan kebebasan perasaan sakit. Berkat konsep fundamentalnya tersebut Jeremy Betham diakui sebagai pemimpin kaum Radikal Filosofis yang sangat berpengaruh. Akan tetapi teori yang di usung Betham tersebut mempunyai banyak kelemahan terutama tentang moralitas, sehingga para pengkritik mencelanya sebagai pig philosophy; filsafat yang cocok untuk Babi. Salah paham tersebut kemudian berusaha diluruskan kembali oleh pengikutnya, Jhon Stuart Mill (Suseno, 1998: 173).


1.2 Definisi Istilah

Utilitarianisme secara etimologi berasal dari bahasa Latin dari kata Utilitas, yang berarti useful, berguna, berfaedah dan menguntungkan. Jadi paham ini menilai baik atau tidaknya, susila atau tidak susilanya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang didatangkannya (Salam, 1997: 76). Sedangkan secara terminology utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tidak bermanfaat, tak berfaedah, merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak (Mangunhardjo, 2000: 228).

Menurut Jhon Stuart Mill sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat Utilitarianisme adalah aliran yang menerima kegunaan atau prinsip kebahagiaan terbesar sebagai landasan moral, berpendapat bahwa tindakan benar sebanding dengan apakah tindakan itu meningkatkan kebahagiaan, dan salah selama tindakan itu menghasilkan lawan kebahagiaan. Sedangkan kebahagiaan adalah kesenangan dan hilangnya derita; yang dimaksud dengan ketakbahagiaan adalah derita dan hilangnya kesenangan (Rakhmat, 2004: 54). Utilitarianisme merupakan pandangan hidup bukan teori tentang wacana moral. Moralitas dengan demikian adalah seni bagi kebahagiaan individu dan sosial. Dan kebahagiaan atau kesejahteraan pemuasan secara harmonis atas hasrat-hasrat individu (Aiken, 2002: 177-178).

1.3 Perkembangan Utilitarianisme

Will Kymlicka membagi utilitarianisme dalam empat varian sesuai dengan sejarah perkembangannya. Pada tahap pertama, utilitarianisme diartikan sebagai hedonisme kesejahteraan (walfare hedonism). Ini adalah bentuk utilitarianisme paling awal yang memandang bahwa pemenuhan kebahagiaan manusia terletak pada terpenuhinya hasrat kesenangan manusia yang bersifat ragawi. Akan tetapi, model utilitarianisme ini sangat tidak tepat sasaran, sebab boleh jadi apa yang terasa nikmat belum tentu baik bagi individu. Oleh karena itu, muncul jenis utilitarianisme kedua, utilitas bagi keadaan mental yang tidak beriorientasi hedonis (non-hedonistic mental-state utility). Pada perkembangan ini, aspek hedonistik dihilangkan dan diganti dengan kesenangan yang menjamin kebahagiaan. Utilitarianisme dipahami sebagai terpenuhinya semua pengalaman individu yang bernilai, darimana pun hal itu berasal (Kymlicka, 1990: 12-13).

Utilitarianisme model kedua juga menyimpan persoalan, karena pengalaman yang bernilai ternyata tidak satu, dan tidak mungkin semua pengalaman bernilai itu terpenuhi dalam satu waktu. Individu harus memilih. Utilitarianisme model ketiga adalah terpenuhinya pilihan-pilihan individu. Utilitarianisme tahap ini disebut sebagai pemenuhan pilihan (preference satisfaction). Utilitarianisme tahap ini mengandaikan adanya unsur keterlibatan rasionalitas dalam memenuhi utilitas. Pada tahap terakhir, utilitarianisme diartikan sebagai terpenuhinya pilihan-pilihan rasional individu yang berdasar kepada pengetahuan dan informasi yang utuh mengenai pilihan-pilihan tersebut. Utilitarianisme ini disebut pilihan yang berbasis informasi (informed preference) (Kymlicka, 1990: 15-16).
Rasionalitas atau informed preference bukan malah semakin membebaskan manusia dan menunjukkan jalan terbaik bagi pemenuhan kebutuhan manusia, malah akan menjadi legitimasi bagi totalitarianisme. Apalagi, utilitarianisme terkenal dengan semboyan “The greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang) (Kymlicka, 1990: 12).

1.4 Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme

v Pertama, MANFAAT

v Kedua, MANFAAT TERBESAR

v Ketiga, MANFAAT TERBESAR BAGI SEBANYAK MUNGKIN ORANG

1.5 Nilai Positif Etika Utilitarianisme

· Pertama, Rasionalitas.

· Kedua, Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral.

· Ketiga, Universalitas.

1.6 Utilitarianisme sebagai proses dan sebagai Standar Penilaian

  • Pertama, etika utilitarianisme digunakan sbg proses untuk mengambil keputusan, kebijaksanaan atau untuk bertindak.
  • Kedua, etika utilitarianisme sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan.

1.7 Kelemahan Etika Utilitarianisme

  • Pertama, manfaat merupakan konsep yg begitu luas shg dalam kenyataan praktis akan menimbulkan kesulitan yg tidak sedikit
  • Kedua, etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pd dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dg akibatnya.
  • Ketiga, etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang
  • Keempat, variabel yg dinilai tidak semuanya dpt dikualifikasi.
  • Kelima, seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarisme saling bertentangan, maka akan ada kesulitan dlam menentukan proiritas di antara ketiganya
  • Keenam, etika utilitarisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas.

(BAB IV) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

TANGGUNG jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility) kini jadi frasa yang semakin populer dan marak diterapkan perusahaan di berbagai belahan dunia. Menguatnya terpaan prinsip good corporate governance seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility telah mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis.

Di tanah air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).

Namun, UU PT tidak menyebutkan secara terperinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR “dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.” PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh peraturan pemerintah yang hingga kini belum dikeluarkan.

Akibatnya, standar operasional mengenai bagaimana menjalankan dan mengevaluasi kegiatan CSR masih diselimuti kabut misteri. Selain sulit diaudit, CSR juga menjadi program sosial yang “berwayuh” wajah dan mengandung banyak bias.

Banyak perusahaan yang hanya membagikan sembako atau melakukan sunatan massal setahun sekali telah merasa melakukan CSR. Tidak sedikit perusahaan yang menjalankan CSR berdasarkan copy-paste design atau sekadar “menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang diperhatikan, beberapa program CSR di satu wilayah menjadi seragam dan seringkali tumpang tindih.

Walhasil, alih-alih memberdayakan masyarakat, CSR malah berubah menjadi Candu (menimbulkan kebergantungan pada masyarakat), Sandera (menjadi alat masyarakat memeras perusahaan), dan Racun (merusak perusahaan dan masyarakat).

Sejarah singkat

Pengertian CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate community relations, dan community development.

Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan.

Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington.

Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).

Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (corporate social activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.

Melalui konsep investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasannya kegiatan perusahaan membawa dampak (baik maupun buruk) bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi.

Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham, melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dan lainnya, bergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004).

Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.

Bias-bias CSR

Berdasarkan pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua perusahaan mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR berikut ini.

Pertama, kamuflase. CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen genuine, tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan dari community development, melainkan “celana dalam” yang berfungsi menutupi “aurat” perusahaan. McDonald`s Corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang berkaitan dengan unnecessary cruelty to animals dan mempekerjakan anak di bawah umur.

Kedua, generik. Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain. Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan sedikit modifikasi) terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan perusahaan.

Ketiga, directive. Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.

Keempat, lip service. CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan berdasarkan belas kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American Tobacco (BAT), misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service belaka.

Kelima, kiss and run. Program CSR bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat myopic, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi sosial. CSR sekadar “menanam jagung”, bukan “menanam jati”.

CSR yang baik

CSR yang baik (good CSR) memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency, accountability, dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan mendasar di antara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan.

Sebagai contoh, fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam bentuk fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus dipertanggung jawabkan.

Sementara itu, prinsip responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders perusahaan bisa mencakup karyawan beserta keluarganya, pelanggan, pemasok, komunitas setempat, dan masyarakat luas, termasuk pemerintah selaku regulator. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu (Supomo, 2004).

Namun demikian, prinsip good corporate governance jangan diartikan secara sempit. Artinya, tidak sekadar mengedepankan kredo beneficience (do good principle), melainkan pula nonmaleficience (do no-harm principle) (Nugroho, 2006).

Perusahaan yang hanya mengedepankan benificience cenderung merasa telah melakukan CSR dengan baik. Misalnya, karena telah memberikan beasiswa atau sunatan massal gratis. Padahal, tanpa sadar dan pada saat yang sama, perusahaan tersebut telah membuat masyarakat semakin bodoh dan berperilaku konsumtif, umpamanya, dengan iklan dan produknya yang melanggar nonmaleficience.