Sabtu, 15 Mei 2010

JEMBATAN EMAS

Dalam sidang BPUPKI tentang Dasar Negara Indonesia, 1 Juni 1945, Soekarno dengan berapi-api menyatakan:

“Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! …Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan… Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya…”

“…Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna – janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi perjoangan!

Jangan mengira bahwa dengan berdirinya Negara Indonesia Merdeka itu, perjoangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan terus… Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil risiko – tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya… Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka – merdeka atau mati!” (Tepuk tangan riuh).

*

Soekarno, sang pemimpin besar, sudah pergi untuk selamanya. Panca Sila yang dipersembahkannya untuk dijadikan sebagai fundamen negara-bangsa ini, setelah dimanipulasi, lalu disakralkan, belakangan mulai dilupakan pula. Kemerdekaan yang diproklamirkannya pada 17 Agustus 1945, dan selalu kita peringati dengan keharuan mendalam dan hati pilu, karena sang “jembatan emas” ternyata tidak mengantarkan bangsa ini ke arah yang dicita-citakan: keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kita tidak bisa menjadi “satu nationaliteit yang merdeka,” yang “hidup sebagai anggota dunia yang merdeka yang penuh dengan perikemanusiaan.” Kita hanya menjadi bangsa yang bobrok dan menjadi pariah di mata dunia.


*

Kemerdekaan Indonesia, gagal menjadi momentum bagi sebuah hijrah yang fundamental. Padahal, jika hijrah tidak terjadi, maka “Islam” pun tidak menjadi. Dulu pun, dalam pidatonya itu, Soekarno sudah menyindir: “Kita berkata, 90 persen daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini, berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah suatu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat!”

*
Menurut Ali Syariati, dalam bukunya Rasulullah Saw, sejak Hijrah hingga Wafat (1989), “Hijrah tidak terbatas artinya pada meninggalkan tempat tumpah-darah, tetapi juga mencakup hijrah untuk meninggalkan sesuatu yang melekat pada diri sendiri… Untuk bergerak di luar dan melakukan revolusi dari dalam dirinya, untuk melindungi mereka dari kemerosotan dan kejumudan, kemudian mendorongnya untuk selamanya bergerak, dinamis, dan revolusioner.”

“Hijrah adalah hendaknya Anda meninggalkan perbuatan keji baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, mendirikan solat, menunaikan zakat…” (Hadits).

*

Mantan PM Malaysia Mahathir Muhammad, yang dijuluki sebagai “Soekarno Kecil,” konon memberikan nasehat kepada kita: Indonesia membutuhkan tidak hanya satu, melainkan ratusan pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri!